Setyo Rahardjo, ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi Nasional (KNKT),
telah menyatakan bahwa sedikitnya dibutuhkan 1 tahun untuk mengungkappenyebab
tragedi jatuhnya Pesawat Boeing 37-200 milik
Maskapai Mandala sesaat setelah take off dari Bandara Polonia di Medan.
Tidak kurang dari 140 orang meninggal, baik awak dan penumpang pesawat serta penduduk
lokal yang berada di sekitar tempat kejadian. Manajemen Mandala sejauh ini menyatakan
bahwa penyebab musibah ter sebut adalah gagal take off. Tulisan singkat ini
jauh dari keinginan untuk mengungkap penyebab jatuhnya pesawat,
namun hanya ingin memberikan keluasan wacana tentang berbagai kemungkinan yang
bisa berada di balik musibah tersebut. Di bagian awal tulisan ini akan
disajikan secara singkat tentang hidrodinamika pesawat.Sedangkan di bagian
akhir disajikan beberapa musibah yang sejenis dengan musibah yang menimpa Mandala Flight 091 serta analisis
singkat.
Hidrodinamika pesawat terbang
Pada prinsipnya, pada saat pesawat mengudara, terdapat 4 gaya utama yang bekerja pada pesawat, yakni gaya dorong (thrust T), hambat (drag D), angkat (lift L), dan berat pesawat (weight W). Pada saat pesawat sedang menjelajah (cruise) pada kecepatan dan ketinggian konstan, ke-4 gaya tersebut berada dalam kesetimbangan: T = D dan L = W. Sedangkan pada saat pesawat take off dan landing, terjadi akselerasi dan deselerasi yang dapat dijelaskan menggunakan Hukum II Newton (total gaya adalah sama dengan massa dikalikan dengan percepatan). Pada saat take off, pesawat mengalami akselerasi dalam arah horizontal dan vertical. Pada saat ini, L harus lebih besar dari W, demikian juga T lebih besar dari D. Dengan demikian diperlukan daya mesin yang besar pada saat take off. Gagal take off bisa disebabkan karena kurangnya daya mesin (karena berbagai hal: kerusakan mekanik, human error, gangguang eksternal, dsb), ataupun gangguan pada sistem kontrol pesawat.
Dibalik terbangnya pesawat
Sebagian besar pesawat komersial saat ini menggunakan mesin turbofan. Turbofan berasal dari dua kata, yakni turbin dan fan. Komponan fan merupakan pembeda antara mesin ini dengan turbojet. Pada mesin turbojet, udara luar dikompresi oleh kompresor hingga mencapai tekanan tinggi.Selanjutnya udara bertekanan tinggi tersebut masuk ke dalam ruang bakar untuk dicampurkan dengan bahan bakar (avtur). Pembakaran udara bahan bakar tersebut akan meningkatkan temperatur dan tekanan fluida kerja. Fluida bertekanan tinggi ini selanjutnya dilewatkan melalui turbin dan keluar pada nosel dengan
kecepatan sangat tinggi. Perbedaan kecepatan udara masuk dan keluar dari mesin mencitpakan gaya dorong T (Hukum III Newton: Aksi dan Reaksi). Gaya dorong T ini dimanfaatkan untuk bergerak dalam arah horizontal dan sebagian diubah oleh sayap pesawat menjadi gaya angkat L. Pada mesin turbofan, ditambahkan fan yang memberikan tambahan laju udara melalui bypass air. Udara tambahan ini sekali gus mampu meredam kebisingan mesin. Namun relatif kompleksnya mesin turbofan ini enjadikan nya
Hidrodinamika pesawat terbang
Pada prinsipnya, pada saat pesawat mengudara, terdapat 4 gaya utama yang bekerja pada pesawat, yakni gaya dorong (thrust T), hambat (drag D), angkat (lift L), dan berat pesawat (weight W). Pada saat pesawat sedang menjelajah (cruise) pada kecepatan dan ketinggian konstan, ke-4 gaya tersebut berada dalam kesetimbangan: T = D dan L = W. Sedangkan pada saat pesawat take off dan landing, terjadi akselerasi dan deselerasi yang dapat dijelaskan menggunakan Hukum II Newton (total gaya adalah sama dengan massa dikalikan dengan percepatan). Pada saat take off, pesawat mengalami akselerasi dalam arah horizontal dan vertical. Pada saat ini, L harus lebih besar dari W, demikian juga T lebih besar dari D. Dengan demikian diperlukan daya mesin yang besar pada saat take off. Gagal take off bisa disebabkan karena kurangnya daya mesin (karena berbagai hal: kerusakan mekanik, human error, gangguang eksternal, dsb), ataupun gangguan pada sistem kontrol pesawat.
Dibalik terbangnya pesawat
Sebagian besar pesawat komersial saat ini menggunakan mesin turbofan. Turbofan berasal dari dua kata, yakni turbin dan fan. Komponan fan merupakan pembeda antara mesin ini dengan turbojet. Pada mesin turbojet, udara luar dikompresi oleh kompresor hingga mencapai tekanan tinggi.Selanjutnya udara bertekanan tinggi tersebut masuk ke dalam ruang bakar untuk dicampurkan dengan bahan bakar (avtur). Pembakaran udara bahan bakar tersebut akan meningkatkan temperatur dan tekanan fluida kerja. Fluida bertekanan tinggi ini selanjutnya dilewatkan melalui turbin dan keluar pada nosel dengan
kecepatan sangat tinggi. Perbedaan kecepatan udara masuk dan keluar dari mesin mencitpakan gaya dorong T (Hukum III Newton: Aksi dan Reaksi). Gaya dorong T ini dimanfaatkan untuk bergerak dalam arah horizontal dan sebagian diubah oleh sayap pesawat menjadi gaya angkat L. Pada mesin turbofan, ditambahkan fan yang memberikan tambahan laju udara melalui bypass air. Udara tambahan ini sekali gus mampu meredam kebisingan mesin. Namun relatif kompleksnya mesin turbofan ini enjadikan nya
cukup rentan terhadap FOD (Flying Object Damage)
dan gangguang akibat pembentukan es pada mesin.
Sayap: mengubah T menjadi L
Hingga saat ini, setidaknya ada 3 penjelasan yangditerima untuk fenomena munculnya gaya angkat pada
sayap: prinsip Bernoulli, Hukum III Newton, dan efek Coanda. Sayap pesawat memiliki kontur potongan
melintang yang unik: airfoil. Pada airfoil, permukaan atas sedikit melengkung membentuk kurva cembung, sedangkan permukaan bawah relatif datar. Bila sekelompok udara mengenai kontur airfoil ini, maka ada kemungkinan bahwa udara bagian atas akan memiliki kecepatan lebih tinggi dari bagian bawah: hal ini disebabkan karena udara bagian atas harus melewati jarak yang lebih panjang (permukaan atas airfoil adalah cembung) dibandingkan udara bagian bawah. Prinsip Bernoulli menyatakan bahwa semakin tinggi kecepatan fluida (untuk ketinggian yang relatif sama),maka tekanannya akan mengecil. Dengan demikian akan terjadi perbedaan tekanan antara udara bagian bawah dan atas sayap: hal inilah yang mencipakan gaya angkat L. Penjelasan dengan prinsip Bernoulli ini masih menuai pro kontra; namun penjelasan ini pulalah yang digunakan Boeing untuk menjelaskan prinsip gaya angkat.
Penjelasan menggunakan Hukum III Newton menekankan pada prinsip perubahan momentum manakala udara dibelokkan oleh bagian bawah sayap pesawat. Dari prinsip aksi ¡¦reaksi, muncul gaya pada bagian bawah sayap yang besarnya sama dengan gaya yang diberikan sayap untuk membelokkan udara. Sedangkan penjelasan menggunakan efek Coanda menekankan pada beloknya kontur udara yang mengalir di bagian atas sayap. Bagian atas sayap pesawat yang cembung memaksa udara untuk mengikuti kontur tersebut. Pembelokan kontur udara tersebut dimungkinkan karena adanya daerah
tekanan rendah pada bagian atas sayap pesawat (atau dalam penjelasan lain: beloknya kontur udara tersebut menciptakan daerah tekanan rendah). Perbedaan tekanan tersebut menciptakan perbedaan gaya yang menimbulkan gaya angkat L. Meski belum ada konsensus resmi mengenai mekanisme yang paling akurat untuk munculnya fenomena gaya angkat, yang jelas sayap pesawat berhasil mengubah sebagian gaya dorong T mesin menjadi gaya angkat L.
Kontrol gerak pesawat
Pesawat terbang memiliki kemampuan bergerak dalam tiga sumbu, yakni pitch, roll, dan yaw. Gerak naik turunnya hidung pesawat dikontrol oleh elevator, gerak naik turunnya sayap pesawat dikontrol oleh aileron, sedangkan gerak berbelok dalam bidang horizontal dikontrol oleh rudder yang berada di sirip (fin) pesawat. Selain itu, dibagian belakang sayap juga terdapat spoiler yang berfungsi membantu meningkatkan gaya angkat pada saat take off atau dengan perubahan posisi mampu mengurangi gaya angkat pada saat landing (air brake). Pada saat menjelajah (cruise) spoiler ini akan masuk ke dalam sayap untuk mengurangi gaya hambat D pesawat.
Kecelakaan pesawat pada saat take off [1]: beberapa
kasus
Sebagian besar kecelakaan pesawat pada saat take off terjadi karena kegagalan fungsi mesin yang munculkarena berbagai sebab. Kegagalan fungsi mesin tersebutbisa disebabkan karena kerusakan pada komponen mesinitu sendiri, kerusakan pada daerah di dekat mesin yang berimbas pada mesin, kebocor an dan terbakarnya tanki bahan bakar, kerusakan sistem kontrol, ataupun human error. Di bawah ini akan diberikan gambaran kasus kecelakaan pesawat pada saat take off.
Air Florida Flight 90, Januari 13, 1982, menewaskan 78
orang
Air Florida Flight 90 menggunakan Boeing 737-222 pada saat take off dari Bandara Washington dalam kondisi cuaca yang sangat dingin. Sesaat setelah take off, pesawat tersebut gagal untuk mencapai ketinggian, dan jatuh di Sungai Potomac setelah sebelumnya sempat menghantam 5 kendaraan di high way. Dari penyelidikan, diduga pilot tidak mengaktifkan system anti-es. Sehingga indicator EPR (Engine Pressure Ratio) memberikan pembacaan indicator dengan kesalahan tinggi: seharusnya untuk take off diperlukan EPR 2.04, namun karena kesalahan indikator, mesin hanya memproduksi EPR 1.7. Pesawat memang berhasil mengudara, namun dia gagal mendapatkan ketinggian karena kurangnya daya pesawat.
Air France Flight 4590 (Concorde), menewaskan 113
orang
Sebelum musibah ini, penerbangan Concorde merupakan penerbangan teraman, karena belum mengalami satu pun musibah fatal. Musibah ini ternyata mengubah perjalanan penerbangan Concorde selanjutnya; yang mungkin diperkuat dengan berbagai faktor lain, menyebabkan penerbangan ini ditutup selamanya. Pada 25 Juli 2000, Concorde ini lepas landas dari Bandara Internasional Charles de Gaulle di dekat Paris. Penyelidikan atas kasus ini mengungkapkan bahwa terdapat lempeng titanium yang terjatuh dari penerbangan sebelumnya, yakni Continental Airlines DC 10, yang kemudian mengenai bagian roda Concorde. Titanium tersebut mampu merobek ban Concorde, dan selanjutnya serpihan ban (4.5 kg) dengan kecepatan sangat tinggi (300 km/jam) tersebut menghantam bagian sayap. Rambatan tekanan dan getaran akibat benturan tersebut mengkoyakkan tanki yang berisi penuh bahan bakar. Kedua mesin pesawat segera mati, dan Concorde jatuh menimpa sebuah hotel. Jumlah total korban
meninggal pada kecelakaan ini sebanyak 113 orang yang meliputi awak dan penumpang pesawat serta orang yang tertimpa pesawat.
American Airlines Flight 587, menewaskan 260 orang
Pada 12 November 2001, Penerbangan pesawat Airbus A300-600 yang digunakan American Airlines dengan nomor penerbangan 587 jatuh tak lama setelah take off dari Bandara Internasional John F Kennedy. Karena berdekatan waktunya dengan tragedy September 11, sempat muncul dugaan bahwa "terorisme" merupakanpenyebab jatuhnya pesawat tersebut. Pesawat ini melaju
di runway yang baru saja dilalui Boeing 747. Melajunya objek sebesar pesawat terbang dengan kecepatan tinggi tentu saja menimbulkan turbulensi udara yang cukup intens. Turbulensi udara tersebut mengganggu jalannya Airbus A300-600 yang mencoba take off. Pilot mencoba menggunakan rudder untuk mengendalikan jalannya pesawat, namun pilot terlalu jauh menggunakan rudder
tersebut dan kemudian mengkoreksinya dengan menggerakkan rudder ke arah yang berlawanan: juga
terlalu jauh. Gerakan rudder yang sangat besar dan dalam waktu yang singkat tersebut mencipakan tegangan (stress) yang sangat besar di bagian ekor pesawat. Pada akhirnya bagian ekor pesawat tersebut patah, dan menyebabkan pilot kehilangan kontrol atas pesawat.Pihak Airbus dan American Airlines saling menyalahkan: di satu sisi American Airlines menuding Airbus menggunakan fly by wire pada rudder yang tidak biasa, yakni tekanan pada pedal penggerak rudder diset
konstan pada berbagai kondisi kecepatan pesawat (biasanya untuk kecepatan pesawat yang semakin besar, tekanan pedal untuk menggerakkan rudder juga semakin besar), di sisi lain, Airbus menuding American Airlines tidak melakukan pilot training yang sesuaidengan karakteristik pesawat Airbus.
Emergency & Disaster Management Inc [2] mencatat 13 kecelakaan pesawat terbang di seluruh dunia yang berkaitan dengan saat take off dan landing terjadi pada pesawat Boeing berbagai seri selama tahun
2000-2004; dan lebih khusus lagi sebanyak 8 kejadian diantaranya menimpa pesawat Boeing seri 737. Serupa dengan penjelasan pada paragraph sebelumnya, penyebab kecelakaan saat take off dan landing tersebut juga berasal dari berbagai sumber: human error, factor eksternal, gangguang mesin, dll.
Khusus untuk Mandala Airlines Flight 091, ada beberapa informasi dari media massa (Suara Merdeka) yang menyebutkan bahwa saksi mata melihat adanya asap hitam keluar dari bagian belakang pesawat. Juga penuturan penumpang yang selamat (Tempo Interaktif) yang menyebutkan bahwa mereka mendengar dentuman dan kemudian pesawat terasa kehilangan tenaga. Selain itu ada juga saksi mata yang menyebutkan bahwa pesawat terlihat seperti hendak berbelok sebelum akhirnya jatuh. menilik penjelasan yang teramat minim tersebut, bila seandainya benar terjadi yang demikian, maka ada
kemungkinan bahwa penyebab jatuhnya Mandala Airlines Flight 091 tersebut adalah kerusakan mesin. Beloknya arah pesawat bisa jadi disebabkan karena matinya salah satu mesin. Ketidakseimbangan gaya dorong bisa menyebabkan beloknya pesawat. Namun perlu digarisbawahi bahwa dari paparan sebelumnya bisa dimengerti bahwa kerusakan mesin (bila benar terjadi demikian) tersebut tidak semata-mata berkorelasi dengan umur pesawat. Banyak faktor eksternal dan internal yang memungkin kan terjadinya kerusakan mesin.
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa kecelakaan pesawat pada saat take off terjadi di berbagai negara, juga di Amerika Serikat yang dikenal memiliki prosedur kerja yang baik. Umur dan kondisi pesawat yang mengalami kecelakaan pada saat take off juga bervariasi, bukan hanya menimpa pesawat yang sudah berumur. Kondisi mesin dan struktur pesawat memang menempati posisi yang kritikal pada keselamatan penerbangan. Kerusakan dan gangguan mesin dan sistem pada moda transportasi darat dan laut biasanya tidak menimbulkan akibat sefatal bila hal tersebut terjadi pada pesawat terbang. Oleh karena itu, pengoperasian pesawat terbang di seluruh dunia senantiasa menuntut keterlibatan sumber daya manusia dengan kualitas tinggi. Namun demikian, dari paparan di atas terlihat bahwa terdapat banyak faktor internal dan eksternal yang berpotensi menyebabkan musibah pada sebuah pesawat . Rendahnya harga tiket yang mungkin berkorelasi pada kualitas maintenance tidak bisa
semata-mata kemudian dicurigai sebagai penyebab utama.
Sayap: mengubah T menjadi L
Hingga saat ini, setidaknya ada 3 penjelasan yangditerima untuk fenomena munculnya gaya angkat pada
sayap: prinsip Bernoulli, Hukum III Newton, dan efek Coanda. Sayap pesawat memiliki kontur potongan
melintang yang unik: airfoil. Pada airfoil, permukaan atas sedikit melengkung membentuk kurva cembung, sedangkan permukaan bawah relatif datar. Bila sekelompok udara mengenai kontur airfoil ini, maka ada kemungkinan bahwa udara bagian atas akan memiliki kecepatan lebih tinggi dari bagian bawah: hal ini disebabkan karena udara bagian atas harus melewati jarak yang lebih panjang (permukaan atas airfoil adalah cembung) dibandingkan udara bagian bawah. Prinsip Bernoulli menyatakan bahwa semakin tinggi kecepatan fluida (untuk ketinggian yang relatif sama),maka tekanannya akan mengecil. Dengan demikian akan terjadi perbedaan tekanan antara udara bagian bawah dan atas sayap: hal inilah yang mencipakan gaya angkat L. Penjelasan dengan prinsip Bernoulli ini masih menuai pro kontra; namun penjelasan ini pulalah yang digunakan Boeing untuk menjelaskan prinsip gaya angkat.
Penjelasan menggunakan Hukum III Newton menekankan pada prinsip perubahan momentum manakala udara dibelokkan oleh bagian bawah sayap pesawat. Dari prinsip aksi ¡¦reaksi, muncul gaya pada bagian bawah sayap yang besarnya sama dengan gaya yang diberikan sayap untuk membelokkan udara. Sedangkan penjelasan menggunakan efek Coanda menekankan pada beloknya kontur udara yang mengalir di bagian atas sayap. Bagian atas sayap pesawat yang cembung memaksa udara untuk mengikuti kontur tersebut. Pembelokan kontur udara tersebut dimungkinkan karena adanya daerah
tekanan rendah pada bagian atas sayap pesawat (atau dalam penjelasan lain: beloknya kontur udara tersebut menciptakan daerah tekanan rendah). Perbedaan tekanan tersebut menciptakan perbedaan gaya yang menimbulkan gaya angkat L. Meski belum ada konsensus resmi mengenai mekanisme yang paling akurat untuk munculnya fenomena gaya angkat, yang jelas sayap pesawat berhasil mengubah sebagian gaya dorong T mesin menjadi gaya angkat L.
Kontrol gerak pesawat
Pesawat terbang memiliki kemampuan bergerak dalam tiga sumbu, yakni pitch, roll, dan yaw. Gerak naik turunnya hidung pesawat dikontrol oleh elevator, gerak naik turunnya sayap pesawat dikontrol oleh aileron, sedangkan gerak berbelok dalam bidang horizontal dikontrol oleh rudder yang berada di sirip (fin) pesawat. Selain itu, dibagian belakang sayap juga terdapat spoiler yang berfungsi membantu meningkatkan gaya angkat pada saat take off atau dengan perubahan posisi mampu mengurangi gaya angkat pada saat landing (air brake). Pada saat menjelajah (cruise) spoiler ini akan masuk ke dalam sayap untuk mengurangi gaya hambat D pesawat.
Kecelakaan pesawat pada saat take off [1]: beberapa
kasus
Sebagian besar kecelakaan pesawat pada saat take off terjadi karena kegagalan fungsi mesin yang munculkarena berbagai sebab. Kegagalan fungsi mesin tersebutbisa disebabkan karena kerusakan pada komponen mesinitu sendiri, kerusakan pada daerah di dekat mesin yang berimbas pada mesin, kebocor an dan terbakarnya tanki bahan bakar, kerusakan sistem kontrol, ataupun human error. Di bawah ini akan diberikan gambaran kasus kecelakaan pesawat pada saat take off.
Air Florida Flight 90, Januari 13, 1982, menewaskan 78
orang
Air Florida Flight 90 menggunakan Boeing 737-222 pada saat take off dari Bandara Washington dalam kondisi cuaca yang sangat dingin. Sesaat setelah take off, pesawat tersebut gagal untuk mencapai ketinggian, dan jatuh di Sungai Potomac setelah sebelumnya sempat menghantam 5 kendaraan di high way. Dari penyelidikan, diduga pilot tidak mengaktifkan system anti-es. Sehingga indicator EPR (Engine Pressure Ratio) memberikan pembacaan indicator dengan kesalahan tinggi: seharusnya untuk take off diperlukan EPR 2.04, namun karena kesalahan indikator, mesin hanya memproduksi EPR 1.7. Pesawat memang berhasil mengudara, namun dia gagal mendapatkan ketinggian karena kurangnya daya pesawat.
Air France Flight 4590 (Concorde), menewaskan 113
orang
Sebelum musibah ini, penerbangan Concorde merupakan penerbangan teraman, karena belum mengalami satu pun musibah fatal. Musibah ini ternyata mengubah perjalanan penerbangan Concorde selanjutnya; yang mungkin diperkuat dengan berbagai faktor lain, menyebabkan penerbangan ini ditutup selamanya. Pada 25 Juli 2000, Concorde ini lepas landas dari Bandara Internasional Charles de Gaulle di dekat Paris. Penyelidikan atas kasus ini mengungkapkan bahwa terdapat lempeng titanium yang terjatuh dari penerbangan sebelumnya, yakni Continental Airlines DC 10, yang kemudian mengenai bagian roda Concorde. Titanium tersebut mampu merobek ban Concorde, dan selanjutnya serpihan ban (4.5 kg) dengan kecepatan sangat tinggi (300 km/jam) tersebut menghantam bagian sayap. Rambatan tekanan dan getaran akibat benturan tersebut mengkoyakkan tanki yang berisi penuh bahan bakar. Kedua mesin pesawat segera mati, dan Concorde jatuh menimpa sebuah hotel. Jumlah total korban
meninggal pada kecelakaan ini sebanyak 113 orang yang meliputi awak dan penumpang pesawat serta orang yang tertimpa pesawat.
American Airlines Flight 587, menewaskan 260 orang
Pada 12 November 2001, Penerbangan pesawat Airbus A300-600 yang digunakan American Airlines dengan nomor penerbangan 587 jatuh tak lama setelah take off dari Bandara Internasional John F Kennedy. Karena berdekatan waktunya dengan tragedy September 11, sempat muncul dugaan bahwa "terorisme" merupakanpenyebab jatuhnya pesawat tersebut. Pesawat ini melaju
di runway yang baru saja dilalui Boeing 747. Melajunya objek sebesar pesawat terbang dengan kecepatan tinggi tentu saja menimbulkan turbulensi udara yang cukup intens. Turbulensi udara tersebut mengganggu jalannya Airbus A300-600 yang mencoba take off. Pilot mencoba menggunakan rudder untuk mengendalikan jalannya pesawat, namun pilot terlalu jauh menggunakan rudder
tersebut dan kemudian mengkoreksinya dengan menggerakkan rudder ke arah yang berlawanan: juga
terlalu jauh. Gerakan rudder yang sangat besar dan dalam waktu yang singkat tersebut mencipakan tegangan (stress) yang sangat besar di bagian ekor pesawat. Pada akhirnya bagian ekor pesawat tersebut patah, dan menyebabkan pilot kehilangan kontrol atas pesawat.Pihak Airbus dan American Airlines saling menyalahkan: di satu sisi American Airlines menuding Airbus menggunakan fly by wire pada rudder yang tidak biasa, yakni tekanan pada pedal penggerak rudder diset
konstan pada berbagai kondisi kecepatan pesawat (biasanya untuk kecepatan pesawat yang semakin besar, tekanan pedal untuk menggerakkan rudder juga semakin besar), di sisi lain, Airbus menuding American Airlines tidak melakukan pilot training yang sesuaidengan karakteristik pesawat Airbus.
Emergency & Disaster Management Inc [2] mencatat 13 kecelakaan pesawat terbang di seluruh dunia yang berkaitan dengan saat take off dan landing terjadi pada pesawat Boeing berbagai seri selama tahun
2000-2004; dan lebih khusus lagi sebanyak 8 kejadian diantaranya menimpa pesawat Boeing seri 737. Serupa dengan penjelasan pada paragraph sebelumnya, penyebab kecelakaan saat take off dan landing tersebut juga berasal dari berbagai sumber: human error, factor eksternal, gangguang mesin, dll.
Khusus untuk Mandala Airlines Flight 091, ada beberapa informasi dari media massa (Suara Merdeka) yang menyebutkan bahwa saksi mata melihat adanya asap hitam keluar dari bagian belakang pesawat. Juga penuturan penumpang yang selamat (Tempo Interaktif) yang menyebutkan bahwa mereka mendengar dentuman dan kemudian pesawat terasa kehilangan tenaga. Selain itu ada juga saksi mata yang menyebutkan bahwa pesawat terlihat seperti hendak berbelok sebelum akhirnya jatuh. menilik penjelasan yang teramat minim tersebut, bila seandainya benar terjadi yang demikian, maka ada
kemungkinan bahwa penyebab jatuhnya Mandala Airlines Flight 091 tersebut adalah kerusakan mesin. Beloknya arah pesawat bisa jadi disebabkan karena matinya salah satu mesin. Ketidakseimbangan gaya dorong bisa menyebabkan beloknya pesawat. Namun perlu digarisbawahi bahwa dari paparan sebelumnya bisa dimengerti bahwa kerusakan mesin (bila benar terjadi demikian) tersebut tidak semata-mata berkorelasi dengan umur pesawat. Banyak faktor eksternal dan internal yang memungkin kan terjadinya kerusakan mesin.
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa kecelakaan pesawat pada saat take off terjadi di berbagai negara, juga di Amerika Serikat yang dikenal memiliki prosedur kerja yang baik. Umur dan kondisi pesawat yang mengalami kecelakaan pada saat take off juga bervariasi, bukan hanya menimpa pesawat yang sudah berumur. Kondisi mesin dan struktur pesawat memang menempati posisi yang kritikal pada keselamatan penerbangan. Kerusakan dan gangguan mesin dan sistem pada moda transportasi darat dan laut biasanya tidak menimbulkan akibat sefatal bila hal tersebut terjadi pada pesawat terbang. Oleh karena itu, pengoperasian pesawat terbang di seluruh dunia senantiasa menuntut keterlibatan sumber daya manusia dengan kualitas tinggi. Namun demikian, dari paparan di atas terlihat bahwa terdapat banyak faktor internal dan eksternal yang berpotensi menyebabkan musibah pada sebuah pesawat . Rendahnya harga tiket yang mungkin berkorelasi pada kualitas maintenance tidak bisa
semata-mata kemudian dicurigai sebagai penyebab utama.
semoga bermanfaat
No comments:
Post a Comment